Jumat, 23 Agustus 2013

Celah waktu

Setidaknya sudah hampir lima tahun ini, aku tak punya feel apapun terhadap weekend. Buatku hari-hari di akhir pekan juga tanggal merah adalah hari kerja. Belum lagi aturan di tempat kerja: sehari libur -selain weekend day dan tanggal merah- dan dua hari nge-shift dalam seminggu. Lalu kapan aku bisa meluangkan waktu buat menyalurkan hasrat bersepeda?
Fase ini adalah fase meratapi diri tapi akhirnya aku mulai mendapat pencerahan: ada banyak cara buat bertualang! Lamanya waktu libur memang ekuivalen dengan lamanya berpetualang. Jika aku berpikir seperti ini maka jelas aku akan makin sakit hati. Pola pikir berubah, akhirnya menjadi: waktu libur yang tidak cukup lama harus diisi dengan liburan yang berkualitas. That's right!
Saat masa-masa sesat pikir di mana yang kuanggap penting adalah lama waktu liburnya, seorang teman pesepeda yang kuanggap senior pernah memberi tahuku tentang S24O. Baru belakangan saat fase pencerahan datang, kembali kugali apa itu S24O. Tak hanya menemukan definisi S24O tapi juga mendapati microadventure dan touring bersambung. Baik S24O, microadventure maupun touring bersambung punya semangat yang sama: nikmati waktu liburmu yang singkat dengan liburan (baca: petualangan) yang menarik.
"S24O is an abbreviation for sub-twenty-four-overnight, a style of bicycle camping promoted by Grant Peterson. ... Unlike conventional touring, the S24O encourages going on short (sub twenty-four hour) camping trips. ..." [wikipedia]
"You do not need to fly to the other side of the planet to do an expedition. You do not need to be an elite athlete, expertly trained, or rich to have an adventure. Adventure is only a state of mind. Adventure is stretching yourself; mentally, physically or culturally. It is about doing what you do not normally do, pushing yourself hard and doing it to the best of your ability." [ Alastair Humphreys]
Selain mendapati dua definisi tersebut, aku juga menemukan banyak sekali video juga blog tentang S24O maupun microadventure (cobalah googling!)
Definisi tentang S24O yang bersinggungan tentang camping ternyata juga fleksibel, memang lebih terkesan heroik jika benar-benar camping tapi toh tak ada salahnya menginap di penginapan. Untuk touring bersambung, aku belajar dari pengalaman seorang teman sesama penikmat bersepeda jarak jauh. Aku banyak bertanya pada beliau dan jika kudefinisikan dengan kata-kataku sendiri, touring bersambung adalah rangkaian touring menempuh jarak tertentu yang dilakukan bersambung -tidak langsung diselesaikan- dalam beberapa jeda waktu.
Akhirnya, selain day trip (bisa jadi masuk dalam definisi microadventure) yang sudah biasa kulakukan, aku juga ingin ber-S24O dan touring bersambung suatu waktu nanti. Waktu yang singkat bukan buat diratapi, selalu ada celah waktu di sana buat berpetualang.

Malang, 23 Agustus 2013
Saat pikiran ingin bertualang.

Rabu, 14 Agustus 2013

A day trip: akhir dari keputusan antara timur atau selatan

Seperti hari libur kerja biasanya, hasrat buat a day trip cukup menggebu sekedar buat pelepas penat. Ada dua pilihan rute yang ingin kujelajahi hari itu -Rabu, 14 Agustus 2013- yakni Sumber Maron Gondanglegi atau Gua Maria Retno Adi Ngadireso Tumpang. Gondanglegi ada di sebelah selatan Malang sedang Tumpang ada di sebelah timur Malang, Tumpang biasa menjadi titik awal para petualang yang ingin naik ke Bromo.
Seperti biasanya, ritual awal sebelum melakukan day trip adalah memeriksa kondisi sepeda dan mempersipakan perbekalan. Diawali dengan memeriksa kondisi ban yang ternyata ban depan-belakang butuh tambahan angin. Beres dengan ban hal lain yang kupersiapkan adalah memasang bottle cage tambahan dengan menggunakan cable tie. Di tiap perjalanan, aku selalu membawa dua bidon dan kadang masih menyimpan sebotol minuman isotonik di trunk bag. Buatku air adalah bekal utama di tiap perjalanan. Walau kadanga banyak orang memandang aku berlebihan membawa hingga dua bidon. Biarlah, tiap orang punya standarnya masing-masing dalam berpetualang. Beres dengan ban dan bidon, hal selanjutnya adalah mempersiapkan trunk bag beserta isinya. Adapun isi dari trunk bag yang kubawa adalah seperangkat tool kit, ban dalam cadangan, pompa, kaos buat, peta, power bank, jaket dan senter. Khusus buat tool kit dan ban dalam cadangan adalah peralatan wajib di tiap perjalananku, selalu mempersiapkan buat yang terburuk. Setelah trunk bag terisi segara saja kupasang di rack belakang sepedaku. Persiapan beres, tinggal mandi, pemanasan lanjut berangkat!
Sepeda kukayuh ke arah selatan. Pertimbangannya adalah dari arah tersebut bisa langsung ke Gondanglegi atau jika pun ingin ke Tumpang bisa lewat wajak. Perjalanan berlanjut sambil menikmati wilayah persawahan selepas kota Malang. Di tengah perjalanan kuputusan untuk ke Gua Maria Retno Adi Ngadireso Tumpang. Untung sebelum perjalanan tadi sempat kubawa rosario pemberian kekasihku minggu lalu. Rosario itu sudah kumintakan berkat dan akan lebih baik lagi jika kugunakan buat mendaraskan lingkaran rosario itu di Gua Maria Retno Adi. Pun, hari itu adalah Peringatan Santo Maximillian Maria Kolbe, seorang martir yang memiliki devosi yang kuat terhadap Bunda Maria dan paling penting adalah tanggal 15 Agustus adalah Hari Raya Bunda Maria diangkat ke Surga. Akan menjadi lebih bermakna day trip-ku kali ini.
Sepanjang perjalanan mulai dari kos hingga Wajak kulewati dengan mudah karena rute yang buatku masih manusiawi dan tenaga serta nafas juga masih lancar. Namun, tantangan muncul saat tenaga dan nafas tinggal sisa-sisa selepas Wajak. Jalan yang akan kulalui naik-turun belum lagi kondisi jalan yang sedikit rusak di beberapa bagian. Rasa lelah, haus, lapar juga nafas yang mulai ngos-ngosan jadi kombinasi menarik buat melawan diri sendiri. Sampai di mana aku bisa mengayuh?
Sepanjang wilayah Wajak, aku sudah sering bertanya pada beberapa orang di mana letak Ngadireso yang jika dilihat di peta tidak terlalu jauh. Kebanyakan dari mereka selalu menjawab bahwa Ngadireso tidak jauh. Ancer-ancer nya masjid besar Karanganyar cat oranye, di seberang masjid ada jalan kecil yang akan menghantarkan menuju Ngadireso. Patokan ini yang menjadikanku bersemangat mengayuh sepedaku hingga masjid tersebut. Sepanjang kayuhan, aku mencari-cari warung yang menjual nasi buat mengobati rasa lapar. Well, yang banyal kutemukan justru warung bakso. Kayuhanku terhenti di depan masjid cat oranye. Benar saja, ada jalan kecil di seberangnya. Tanpa pikir panjang langsung saja kubelokkan sepedaku ke arah tersebut. Kok rasanya ada yang salah, tapi apa ya? Ternyata aku baru sadar kalau jalan ini makin lama makin nanjak. Tepat sekali! Di depanku terbentang jalan menanjak. Aku tertegun sementara. Maju tapi TTB atau putar balik dan pulang. Nyaliku menciut. Dalam rasa lelah dan lapar, kuputuskan buat putar balik dan pulang. Aku merasa seperti pengecut! Biarlah!
Aku memutuskan pulang dengan rasa kecewa. Aku kalah!
Sekitar dua kilometer dari masjid tadi, aku menemukan warung yang cocok buat sekedar istirahat dan mengisi perut. Saat memesan makanan di warung itu, ada dua orang perempuan yang dari penampilannya aku yakin dari Indonesia Timur (maaf ini bukan tindakan rasis) yang mungkin Katolik sepertiku.
"Maaf, mbak Katolik ya?" aku membuka pertanyaan dengan sungkan karena agama adalah soal privasi.
"Iya mas. Anda Katolik juga?" jawab mereka.
"Iya. Saya Katolik. Apa benar di sini ada Gua Maria?" lagi-lagi aku bertanya.
"Oh, ada mas." sambil menjelaskan dengan isyarat tangan.
Rasanya ini pertolongan buat jiwa yang rapuh sepertiku. Setelah menghabiskan dua porsi tahu lontong di warung tersebut, aku merasa bertenaga. Terlebih setelah diberitahu rute yang lebih bersahabat buatku. Satu jam mengayuh sepeda, sampailah aku di gerbang Pertapaan Karmel, tempat di mana Gua Maria Retno Adi berada. Sekitar setengah kilometer sebelum Gua Maria, aku bertemu dengan lima orang anak yang sedang bermain petasan. Aku bertanya tentang lokasi Gua Maria pada mereka, tak hanya menjelaskan mereka juga mengatarku. Dari mereka aku baru tahu jika Gua Maria Retno Adi lebih dikenal oleh penduduk sekitar Ngadireso dengan sebutan Pertapaan Karmel karena letaknya di komplek pertapaan.
Rasanya aku menang! Setidaknya aku menang melawan rasa putus asaku sendiri. Aku pun merasa dibimbing hingga ke Gua Maria Retno Adi.
Saat itu, hanya ada tiga pengunjung termasuk aku yang berdoa di sini. Rasanya sungguh hening. Sungguh nyaman buat berdoa. Kukeluarkan rosario yang kubawa dan berdoa. Setelah merasa cukup berdoa, aku memutuskan pulang. Sebelum keluar dari Gua Maria, aku mampir ke pos jaga dan ngobrol sebentar dengan bapak satpam di sana. Beliau memberiku brosur jadwal Gua Maria dan menyarankan aku untuk pulang ke Malang lewat Tumpang-Pakis-Madyopuro yang menurutnya akan lebih cepat dan lebih bersahabat. Kupertimbangkan saran beliau dan akhirnya mengeksekusi rute tersebut dan benar saja, perjalanan lebih cepat! Sepanjang jalan pulang aku bertemu banyak petualang yang akan menuju ke Bromo, baik motorist maupun pendaki yang menumpang di jip.
Cukuplah perjalanan hari ini. Kumaknai sebagai peziarahan kecil. Aku belajar bahwa kadang aku merasa mampu dengan kemampuan dan yakin itu benar, padahal salah! Beruntung, aku bertemu orang baik yang menunjukkan jalan yang benar kepadaku. Momen-momen di warung tadi menjadi titik balik. Syukur kepada Allah.

Malang,
saat Hari Raya Bunda Maria diangkat ke Surga.